Search

Apaka Tajapra

Cerita dari Jakarta dan kota-kota disekitarnya

Tag

hidup

Saat Hidup Lebih Hidup

Ada banyak hal yang dapat menghidupkan hidup kita, dan tentunya bagi tiap orang hal tersebut berbeda-beda. Mulai dari yang paling besar hingga yang paling sepele. Mungkin itu sebuah piala keberhasilan dalam pertandingan tingkat dunia, atau Taj Mahal yang saat itu berjarak tidak lebih jauh dari sepelemparan batu dari tubuhmu. Bisa  juga hanya sapuan ombak air laut yang begitu segar mengusap kulit telapak kakimu. Bagi saya saat ini hal tersebut adalah perjalanan sore ini menuju Gelora Bung Karno, menuju tempat dimana tim nasional kita akan melawan Turkmenistan dalam babak kualifikasi piala dunia.

Hidup terasa lebih hidup saat saya dan kawan-kawan berlari-lari menuju stadion setelah turun dari bus karena tidak lama lagi pertandingan akan dimulai. Bukan karena kami tidak ingin ketinggalan tendangan pertama dalam pertandingan itu. Juga bukan karena takut tidak mendapat tempat duduk di tribun dan harus berdiri 2 jam lamanya. Kami berlari menuju stadion, melesat melintasi puluhan orang, seperti tengah kesurupan, agar tidak ketinggalan saat-saat menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama. Ya, lagu Indonesia Raya, kami tak ingin ketinggalan dan tidak ikut menyanyikannya disana.

Ransel berat berisi laptop saya tiba-tiba terasa ringan, entah mengapa, seketika saya rasa senang dan menyadari tengah berlari seperti anak kecil mengejar layang-layang, terasa bahagia dengan cara yang sederhana. Pada layar besar di depan stadion yang akan memutar pertandingan untuk penonton di luar stadion, tengah ditayangkan pemain yang sedang memasuki lapangan. Tidak lama lagi Indonesia Raya akan dikumandangkan, kami berlari lebih kencang, namun apadaya stamina jua yang akhirnya membatasi. Hehehe.

Pintu 8, karcis kami diperiksa dan disobek  untuk kemudian dapat masuk ke dalam lorong tangga menuju tribun. Di dalam lorong itu Indonesia Raya terdengar mulai menggema, kami berlari gopoh gapah menaiki tangga meski hanya untul satu bait saja. Dan berlari menaiki tangga lebih menguras keringat lagi, apalagi ditambah ikut menyanyikan lagu kebangsaan itu sambil terus berlari ke tribun paling atas. Tiga anak tangga lagi, dan disana saya berhenti karena tidak kuat lagi berlari. Berjalan sempoyongan menuju tribun, saya tahu sebentar lagi lagu ini akan mencapai coda.

Dari balik pintu tribun yang terlihat hanya punggung-punggung orang yang menghalangi pandang menuju lapangan, namun semakin dekat saya berjalan pemandangan itu sedikit demi sedikit mulai terlihat.  Hamparan bidang hijau dimana sebelas garuda siap bertarung, dikelilingi puluhan ribu pasukan merah dan putih, bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan kebanggaan kami semua: Indonesia Raya. Saya berdiri terpaku, bersidekap menatap kedepan, dengan pandangan setengah kosong, bersyukur, masih berkesempatan menyanyikan satu baris terakhir lagu kebangsaan kami:

Hiduplah Indonesia Raya…

Dan bagi saya, pada saat-saat seperti itu, hidup terasa begitu…

h i d u p .

Salam

-japs-

Mencoba “Hidup” Kembali…

suis-butcher-frame

Seporsi tenderloin steak,  segelas hot lemon tea dan kalimat-kalimat filosofis yang berjejalan masuk, yang bersusah payah menjadi satu gagasan baru dalam pikiran yang dihantar sebuah buku berjudul Dunia Sophie telah membuat saya merasa “hidup” kembali. 

Sebut saya berlebihan, tapi tiga minggu didera beberapa penyakit sekaligus telah benar-benar memenjara saya dari dunia luar. Bubur, nasi tim, regal, teh manis panas, jaket, selimut dan sekotak kamar 4x4x2.75 menjadi teman sehari-hari yang semakin lama semakin menjenuhkan. Bahkan terasa amat melelahkan begitu demam datang kembali saat dua hari sebelumnya tes darah telah membuktikan bahwa saya sudah “bersih” (thanks to Mba Ade atas culikannya di malam hari menuju UGD RS. Sentosa yang Holiday Inn banget itu). Gejala Typhus, sembuh sesaat, sakit kepala, sembuh sesaat, hasil cek darah oke, tenang, istirahat pemulihan, dan ternyata masih demam juga benar-benar melelahkan saya, dan membuat malam tadi seperti sebuah perjuangan yang berat menurunkan panas yang tinggi dengan sebutir panadol, jaket, dan selimut karena panas gak reda-reda. Perjuangan baru berhasil saat saya mencoba menahan nafas sampai batas kemampuan dan rasanya seperti mau semaput (megap2, saya hanya kuat 2 menit). Keringat bercucuran dan suhu badan kembali normal. Alhamdulillah demam itu hilang.

Maka hari ini saya bertekad tak mau mengungkung lagi diri ini di dalam kosan, meski keputusan pulang ke kampung halaman lebaran haji ini harus saya batalkan karena demam semalam. Meski mual masih sedikit terasa, hal itu tak jadi alasan untuk menahan saya menghirup udara luar dan nikmati makanan selain bubur dan sejawatnya.

[Lanjutkan baca]

Up ↑