Sudah agak lama sebenarnya semenjak saya mulai menyukai musik keroncong. Saya lupa tepatnya, namun saya ingat ada dua hal yang membuat saya semakin menikmatinya. Yang pertama adalah sejak dibelikan sebuah CD keroncong in lounge oleh seorang teman. Saat itu kami begitu asik mendengarkannya di sebuah toko musik di Depok (Thanks, Ang!). Sementara yang kedua adalah saat saya menonton film Ruma Maida di sebuah bioskop di Bandung. Pada film tersebut diceritakan sekelompok musik keroncong dengan lagunya yang berjudul Pulau Tenggara. Dikisahkan pada film tersebut lagu Pulau Tenggara tersebut mengilhami Presiden Soekarno untuk membentuk Gerakan Non-Blok. Ada pulau lagu keroncong ciptaan Maladi (Sang Kiper) yang berjudul Di Bawah Sinar Bulan Purnama yang membuat saya tak henti-hentinya menyenandungkannya selepas menonton, dan terus mengulang-ulangnya hingga seminggu lebih.
Perasaan yang sama kurang lebih saya rasakan pula saat saya mendengarkan lagu Als de Orchideen Bloeien (Bunga Anggrek Mulai Tumbuh) di film Soegija yang saya tonton kemarin. Selepas film lagu keroncong yang digubah Ismail Marzuki ini terus berputar-putar di kepala saya. Saya ingat adegan dimana wanita pemilik hotel di film Soegija memetik ukulele sembari menyanyikan lagu tersebut dengan bahasa Indonesia, lalu disambut oleh seorang pria Belanda yang menyanyikan lagu itu dengan bahasanya : Als de Orchideen Bloeien. Sebuah lagu yang sangat indah menurut saya.
Lagu keroncong sendiri berakar dari musik Portugis yang dikenal dengan nama Fado, dibawa dan diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal perdagangan Portugis sejak mereka memasuki nusantara di abad ke-16. Di Betawi musik tersebut berkembang dan dikenal dengan Keroncong Tugu yang dipengaruhi kemajemukan budaya di daerah betawi. Sementara di daerah jawa musik ini diadaptasi menjadi langgam jawa untuk kemudian berkembang menjadi campursari.
Bicara keroncong tentunya tak akan lepas dari sosok Gesang sang Buaya Keroncong kita yang termasyhur dengan lagu Bengawan Solo-nya yang mendunia. Namun demikian saya jatuh cinta pada musik ini lebih banyak pada musik-musik keroncong yang diciptakan pada masa-masa menjelang kemerdekaaan seperti yang saya dengar di dua film yang saya sebut di atas. Entah bagaimana, namun lagu-lagu tersebut seperti membawa saya ke masa-masa tersebut. Masa-masa dimana kata kemerdekaan masih berupa harapan yang tak henti-hentinya diperjuangkan untuk dapat menjadi nyata oleh para pahlawan kita. Mendengar keroncong era tersebut selalu mengingatkan saya untuk tidak lupakan sejarah. Mendengar keroncong era tersebut seperti ajakan dari alam bawah sadar untuk syukuri apa yang dapat kita nikmati sekarang paska Indonesia merdeka. Lirik-liriknya yang menggunakan bahasa kiasan untuk menghindari cekal dari penjajah di masa tersebut justru membuat lagu-lagu tersebut terdengar lebih indah dan puitis. Seperti judul lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama yang merupakan kiasan akan kemerdekaan yang terlihat semakin “terang” adanya, dan sudah semakin dekat. Hal itu diperjelas dengan lirik pada coda lagu :
“Si miskinpun yang hidup sengsara, semalam ia bersuka.”
Demikian lagu keroncong ini kembali berputar-putar di kepala, tetapi kali ini bergantian… dengan Als de Orchideen Bloeien.
Mari mendengarkan keroncong.
-japs-
sumber lagu dari : sukolaras.wordpress.com
sumber gambar dari : rumamaida.com
Komentar