Saya tersenyum lebar saat melangkah keluar dari studio tempat saya menghabiskan dua jam terhanyut dalam Perahu Kertas yang dilarungkan Dewi Lestari di layar perak. Betapa sebuah film dapat menjungkirbalikkan sebuah rasa hati menjadi bahagia masih jadi sebuah misteri bagi saya. Bagaimana sebuah film bisa membuat saya yang berjalan begitu perlahan sebelum menontonnya, untuk kemudian berlari atau bahkan melompat-lompat di jalan pulang setelah selesai menontonnya adalah sebuah rahasia yang lebih besar lagi yang juga belum bisa saya pahami.
“Ku bahagia, kau telah terlahir di dunia…
Dan kau ada, di antara milyaran manusia…
dan kubisa dengan radarku menemukanmu…”
Satu bait soundtrack film ini yang terus saya nyanyikan sembari berjalan kaki menuju arah pulang, dengan mimpi-mimpi yang tiba-tiba muncul begitu saja. Mimpi-mimpi usang yang sempat terlupakan dan mungkin telah berdebu di sudut ruang angan-angan. Namun saat saya di jalan pulang malam tadi, mimpi-mimpi itu tiba-tiba hadir begitu saja… begitu nyata, menggoda saya dengan setiap sinarnya, menarik-narik saya menujunya, mengajak saya untuk lagi-lagi bermain dan sedikit nakal dengan jalan yang sudah ada. Kemudian saya tersenyum…
Mungkin ini terkait dengan cerita yang dihadirkan Dewi Lestari dalam Perahu Kertas yang baru saja saya tonton itu. Di film itu dikisahkan tentang dua anak manusia (Kugy dan Keenan) dengan kedua mimpinya masing-masing, Kugy bermimpi menjadi penulis dongeng, dan Keenan menjadi pelukis. Dikisahkan pula bagaimana sebuah mimpi yang tidak bisa begitu saja menjadi nyata. Ada kalanya dimana kita akan merasa berada pada sebuah titik saat seolah-olah pilihan yang tersisa hanyalah melepaskan mimpi-mimpi itu ke udara lalu kembali berhadapan dengan dunia nyata.
Sia-sia? Saya rasa tidak juga.Karena apa yang lebih indah dari hidup yang dipenuhi dengan mimpi-mimpi yang terus diupayakan untuk menjadi nyata?
“Batas antara menyerah dengan realistis itu tipis”, “Paling tidak saat ini kamu nikmati saja mimpi-mimpi itu.” Ujar Keenan yang merasa telah berada pada titik dimana mimpi-mimpinya tak mungkin lagi menjadi nyata. Air mata menetes dari sudut mata Kugy. Ia tak percaya kata-kata tersebut keluar dari seseorang yang pernah membuatnya percaya bahwa mimpinya sebagai penulis dongeng bisa menjadi nyata setelah kehadirannya.
Dan saya percaya, bahwa, bahkan jika hanyalah untuk suatu saat kita hanya akan sampai di satu titik dimana kita harus melepaskannya, paling tidak kita pernah melewati satu masa dimana kita pernah percaya bahwa saat-saat mimpi akan menjelma menjadi nyata itu ada. Dan masa itu sangatlah berharga. Teramat berharga.
…
Cerita dalam film ini terasa begitu mengalir, bercerita tentang cinta, tentang cita-cita, tentang kisah-kisah sederhana seperti dunia khayal kugy dengan radar neptunus dan perahu kertasnya, hingga pada akhirnya tentang pencarian jati diri masing-masing karakternya, yang ini tidak lagi merupakan sesuatu yang sederhana. Didukung dengan kualitas audio dan visual yang baik, skenario yang dibuat langsung oleh penulis novelnya, serta karakter dari setiap peran yang dilakonkan dengan kuat beserta chemistry di antara pemainnya, membuat saya terbius dalam alurnya. Mungkin ada kaitannya kualitas sebuah film dengan pembentukan endorphin atau dopamin dalam tubuh, karena tiba-tiba saja saya merasa bahagia akibat menontonnya. Dan bagi saya ini luar biasa.
Seluar biasa akting Maudy Ayunda sebagai Kugy, saya tidak merasakan Maudy Ayunda sedang berakting disana, yang saya lihat murni seorang Kugy dengan setiap gestur alaminya. Saya rasa tidak meleset sama sekali jika Dewi Lestari begitu yakin meminta Maudy Ayunda untuk memerankan sosok Kugy di dalam film ini. Maudy Ayunda, dialah Kugy itu. Dan Kugy-lah bagi saya ruh di dalam film ini. Saya rasa saya juga menyukainya, dan cukup gila untuk mau menjadi agen Neptunusnya hanya karena saya Aquarius. Di sisi lain, Adipati Dolken, sebagai Keenan, mampu memainkan perannya dengan baik dan cukup kuat menurut saya. Saya belum pernah menonton film-film ia sebelumnya, namun saya rasa ia dapat memunculkan karakter Keenan tidak hanya saat ia berdialog, namun juga disaat diam. Subjektif saya seorang aktor sudah berakting baik saat dia bisa berbicara hanya dengan mimiknya saja, dan Adipati Dolken berhasil melakukannya. Namun tetap saja, disini tidak ada yang mengalahkan kemampuan berperan seorang Reza Rahadian, sebuah peran yang baru keluar di sepertiga akhir film, namun bisa muncul begitu kuat seperti dengan mudahnya. Saya rasa ini yang dinamakan akting kelas Piala Citra.
Pemeran-pemeran lainnya menurut saya pun cukup dimainkan dengan menarik, seperti karakter Noni dan Eko sebagai sahabat Kugy dan Keenan. Yang paling saya ingat adalah sebuah kalimat dari Eko yang dibawakan dengan logat betawi dan sangat tepat hingga membuat saya tertawa terbahak-bahak, yaitu saat Keenan bertanya padanya soal Kugy yang bekerja di kantor advertising dan bukan menjadi penulis dongeng. Eko spontan menjawab:
“Jadi penulis dongeng? Lu kira ini DUNIA PERI???”
…
Ada satu kalimat lagi yang saya ingat, kali ini diucapkan oleh karakter Luhde yang diperankan Elyzia Mulachela, yaitu kalimatnya yang menganalogikan sebuah kanvas kosong dengan hamparan langit untuk mendorong Keenan agar dapat melukis kembali :
““Kadang-kadang langit bisa kelihatan seperti lembar kosong. Padahal sebenarnya tidak. Namun ia hanya sedang tertutup awan. Kamu harus bisa menyibakkan awan tersebut”
Seberapa sering awan menutupi bintang kita? Seberapa sering kita tersudut dengan kanvas kosong yang tak penah kunjung kita goreskan dengan kuas-kuas yang ada? Sebuah cerita dalam film ini mampu sejenak meniupkan awan-awan yang menutupi bintang yang pernah saya lihat di suatu waktu. Terima kasih saya untuk penulis, sutradara, serta setiap pendukung dalam film Perahu Kertas. Untuk kalian para pengantar mimpi. Satu orang telah kembali memegang kuasnya.
Salam
-japs-
Komentar